Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyatakan bahwa rokok sebagai produk tidak normal idealnya memiliki kemasan yang tidak menarik. Hal ini disampaikan dalam diskusi bersama Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) di Jakarta,
“Dalam konteks perlindungan konsumen, kemasan rokok idealnya dibuat sesederhana mungkin. Bahkan, di beberapa negara, iklan dan promosi rokok sudah dilarang total,” ujar Tulus.
Tulus menegaskan, sebagai produk yang dikenai cukai, rokok memiliki dampak kontraproduktif jika terus dipromosikan secara masif. Dalam pemasaran, kemasan rokok sering kali menjadi alat promosi terselubung yang menarik perhatian konsumen, terutama generasi muda.
Pentingnya standarisasi kemasan rokok ini juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Selain itu, regulasi baru ini juga meningkatkan porsi peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok, dari 40 persen menjadi 50 persen. Namun, Tulus menyoroti bahwa implementasi peringatan tersebut masih menghadapi kendala, seperti tertutupnya gambar oleh pita cukai.“Kami pernah melakukan survei, dan hasilnya menunjukkan mayoritas peringatan kesehatan bergambar tertutup oleh pita cukai. Dengan regulasi baru, diharapkan ini tidak terjadi lagi,” katanya.
Tulus berharap Kementerian Kesehatan segera menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait standarisasi kemasan rokok. Ia menekankan pentingnya percepatan regulasi ini untuk mengoptimalkan perlindungan konsumen.
“Dengan adanya PP 28/2024, kami mendorong Kementerian Kesehatan untuk segera merampungkan Permenkes sebagai payung hukum yang lebih detail, mengingat rencana awalnya sempat tertunda,” pungkasnya.
Langkah pemerintah melalui PP 28/2024 diharapkan mampu menekan angka perokok di Indonesia. Dengan kemasan yang tidak menarik dan peringatan kesehatan yang lebih jelas, konsumen diharapkan lebih sadar akan bahaya merokok.